April 25, 2013

Petruk dadi Ratu

Banyak yang mengartikan lakon Petruk Dadi ratu sebagai sebuah simbol ketidak becusan seorang pemimpin, atau seorang yang tidak layak menjadi pemimpin dijadikan pemimpin wal hasil adalah kekacauan. Bisa juga di artikan sebagai khayalan yang berlebih, lha masak Petruk pengen jadi pemimpin ?, jongos mau jadi Raja.
 
Meski sebenarnya hal itu tidaklah tepat, karena pada dasarnya Petruk adalah bukan manusia biasa, Petruk merupakan cerminan dari salah satu pribadi Semar. Kesaktian Petruk melebihi kesaktian para Dewa dan Penguasa mayapada. Lantas apa yang mendasari kemudian keluarnya lakon Petruk Dadi ratu ?, jawabannya adalah kekacauan dan ketidakseimbangan.

Dalam dunia pewayangan, saat gonjang-ganjing sudah sampai pada taraf yang sangat tidak wajar, para punakawan—Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong—mulai membangkang. Puncak pembangkangan terjadi ketika Petruk melabrak Kahyangan Jonggring Saloko (istana para penguasa), mengobrak-abrik dan mendekonstruksi tatanan yang selama ini dipakai para penguasa melakukan manipulasi.

Arjuna, sang sang pimpinan yang biasanya dilayani punakawan, dipaksa mematuhi titah Petruk, sang raja baru. Saat itulah Petruk membuka seluruh aib para penguasa. Yang perlu disingkapi dalam lakon ini adalah bukan khayalan seperti versi umum, melainkan adalah Petruk sebagai pemimpin Revolusi yang menjungkir balikan tatanan khayangan yang pada saat itu memang sudah sangat kacau. Petruk merevolusi semua tatanan agar kembali pada tempat yang semestinya.

Dan itu hanya dilakukan oleh Petruk dalam 1 malam, hal ini menyiratkan bahwa Petruk adalah pribadi yang sadar akan peranannya, setelah semua baik, semua berjalan normal, maka Petruk kembali kepada peranan awalnya menjadi seorang pengabdi.

Episode Petruk Dadi Ratu Ini ditutup dengan turunnya Semar mengatasi kondisi.
Kembali Petruk mengayunkan “pecok”nya membelah kayu bakar. Sambil bersenandung tembang pangkur: “Mingkar-mingkuring angkoro, akarono karanan mardisiwi, sinawung resmining kidung, sinubo sinukarto….” 
………Petruk tersenyum mengingat peristiwa itu. “Ah… hanya Hyang Widi yang perlu tahu apa isi hatiku, selain Dia aku tak perduli”

Waktu Petruk menjadi raja, banyak orang menertawakannya. Menurut banyak orang, Petruk dadi Ratu itu hanyalah lakon impian, lakon lamunan rakyat bawahan yang tak dapat memperbaiki keadaan. Mana mungkin rakyat miskin dan bodoh menjadi raja kaya dan bijaksana? Ada pula yang bilang, lakon itu adalah pasemon (sindiran) tentang kere munggah mbale (gelandangan yang menjadi kaya dan lupa daratan). Lainnya lagi mengejek, lakon itu hanyalah dagelan untuk menghibur orang miskin. Dan sebagian lagi berpendapat, Petruk dadi ratu itu kisah aji mumpung (kebetulan), di mana orang miskin menggunakan kesempatan dalam kesempitan. 

Di zaman Belanda dulu, Petruk dadi Ratu juga hanya dipandang sebagai guyonan. Petruk disebut sebagai Opperbevelhebber, jendral berkuasa, yang memerintah semua belantara. Sebagai penguasa, Petruk menjungkirbalikkan pranatan. Di negaranya, Lojitengara, menghisab candu dihalalkan, main judi dinaikkan derajatnya menjadi sport utama, yang dipopulerkan bagi semua warga negara. 


Dari dulu sampai sekarang, entah orang Jawa ataupun Belanda, mereka semua ternyata tidak mengerti wayang. Mereka memikirkan wayang secara wadag (fisik). "Pantas, jika mereka menganggap saya, hamba sahaya yang kecil dan miskin ini, menggunakan kesempatan, berpestaria menjadi raja. Petruk dadi Ratu itu bukan lakonnya orang bodoh jadi raja, atau lakonnya orang kecil beraji mumpung, tapi lakon mencoke wahyu marang kawula (hinggapnya wahyu pada diri rakyat)", kata Petruk. 


Petruk mengenang, bagaimana ia sampai menjadi raja. Alkisah, tuannya, Abimanyu menderita sakit. Abimanyu adalah perantara, yang nantinya akan mewariskan dampar (tahta) Palasara, pendiri Astina, kepada Parikesit, anaknya. Bersamaan dengan sakitnya, pergilah ketiga wahyu yang dimilikinya, yakni wahyu Maningrat, yang menyebarkan benih keratuan, wahyu Cakraningrat, yang menjaga keberadaannya sebagai ratu, dan wahyu Widayat, yang melestarikan hidupnya sebagai ratu. 


Ketiga wahyu itu kemudian hinggap pada diri Petruk. Ia pun akhirnya dapat menjadi raja di negara yang dinamainya Lojitengara. Ia menggelari dirinya Prabu Wel-Geduwel Beh!. Untuk kukuh menjadi raja, ternyata ia membutuhkan damper kerajaan Astina, warisan Palasara. Petruk memerintahkan kepada kedua patihnya, Bayutinaya—titisan Anoman—dan Wisandhanu—titisan Wisanggeni, anak Arjuna--, untuk mencuri tahta Palasara itu.
Kedua utusan itu berhasil membawa pulang tahta tersebut. Prabu Wel-geduwel Beh mencoba duduk di atasnya. Begitu duduk, ia pun terjungkal. Ia coba lagi berulangkali. Sang Prabu akhirnya menyerah dan memperoleh bisikan melalui penasihat kerajaan bahwa supaya tidak terjungkal, ia harus memperoleh boneka yang bisa dililing (dilihat dan ditimang). Petruk kembali menyuruh kedua utusannya, Bayutinaya dan Wisandhanu untuk mencari boneka yang dimaksud. Tanpa memperoleh rintangan yang berarti, kedua utusannya berhasil membawa boneka itu yang tak lain adalah Abimanyu yang sedang sakit.
Ketika dipangku Prabu Wel-Geduwel Beh, Abimanyu sembuh. Dan Abimanyu berkata, "Kamu takkan bisa menduduki tahta itu, jika kamu tidak memangku aku".
"Pada saat itulah saya mengalami, bahwa saya ini hanyalah kawula. Dan saya sadar, saya akan tetap tinggal sebagai kawula, tak mungkinlah saya bisa duduk sebagai raja. Tugas saya hanyalah memangku raja, agar ia dapat menduduki tahtanya. Tuanku Abimanyu dapat duduk di tahta raja karena saya memangkunya. Jadi raja itu takkan bisa menjadi raja, kalau tidak dipangku kawula, rakyat jelata seperti saya ini", kata Petruk sambil memandang tanah datar di hadapannya. 


Dulu Petruk tidak tahu, mengapa ketiga wahyu itu pergi meninggalkan tuannya dan hinggap padanya. Sekarang ia paham, wahyu sebenarnya hanya pergi untuk sementara. Ia pergi hanya untuk nitik, menengok siapakah yang memangku orang yang kedunungan (dihinggapi) wahyu. Wahyu itu tidak asal hinggap. Dia akan hinggap pada orang yang layak dihinggapi, dan orang yang layak itu haruslah orang yang dipangku Petruk, sang rakyat dan sang kawula ini. Maka setelah tahu, bahwa Petruklah yang memangku Abimanyu, wahyu itupun berhenti menitik dan ketiganya kembali kapada Abimanyu. 


Di hadapan tanah datar itu, pikiran Petruk melayang lagi. Ia sedih mengingat gugurnya Abimanyu dalam Perang Bharata Yudha. Petruklah yang menggendong jenazah Abimanyu. Petruk pula yang membakar mayat Abimanyu menuju alam Mokshaya. "Saya ini hanyalah rakyat. Betapa pun hinanya diri saya, hanya saya yang bisa mengantarkan Sang Raja menuju alam kesempurnaannya. Sampai ke Moksha pun, raja itu bergantung pada kawula. Hanya rakyatlah yang dapat menyempurnakan hidup raja, bahkan ketika ia berhadapan dengan akhiratnya", ujar Petruk.


"Memang, kawula, sang rakyat ini ada sepanjang zaman. Sementara raja itu tidaklah abadi. Ia bertahta hanya dalam masa tertentu. Ketika masa itu lewat, ia harus turun atau binasa. Sementara rakyat terus ada. Buktinya, saya ini ada di sepanjang zaman. Menjadi punakawan, hamba yang menemani penguasa dari masa ke masa, sampai hari ini. Kawula iku ana tanpa wates, ratu kuwi anane mung winates ( rakyat itu ada tanpa batas, sedangkan raja itu ada secara terbatas)", kata Petruk. 


Petruk makin menyadari, siapa diri rakyat itu sebenarnya. Hanyalah rakyat yang dapat membantu penguasa untuk menuliskan sejarahnya. "Maka seharusnya penguasa itu menghargai kawula. Penguasa itu harus berkorban demi kawula, tidak malah ngrayah uripe kawula (menjarah hidup rakyat). Kwasa iku kudu ana lelabuhane (kuasa itu harus mau berkorban). Kuasa itu bahkan hanyalah sarana buat lelabuhan, kendati ia masih berkuasa, ia tidak akan di-petung (dianggap) oleh rakyat. Raja itu bukan raja lagi , kalau sudah ditinggal kawula. Siapa yang dapat memangkunya, agar ia bisa menduduki tahta, kalau bukan rakyat? Raja yang tidak dipangku rakyat adalah raja yang koncatan (ditinggalkan) wahyu," kata Petruk.
Tapi Ki Petruk, mengapa banyak penguasa yang tak memperhatikan kawula,menginjak-injak dan menghina kawula, toh tetap dapat duduk di tahtanya? 


"Dalam pewayangan pun ada penguasa yang tak dipangku rakyat seperti saya. Dia adalah Dasamuka yang lalim. Dia adalah Duryudana yang serakah. Seperti halnya hanya ada satu tahta Palasara, demikian pula hanya ada satu tahta rakyat. Duryudana berkuasa, tapi tak pernah berhasil menduduki tahta Palasara. Banyak penguasa berkuasa, tapi mereka sebenarnya tidak bertahta di dampar yang sebenarnya, yakni dampar rakyat ini", jawab Petruk.
Tiba-tiba Petruk mendengar, tanah datar di hadapannya itu bersenandung. Makin lama semakin keras bahkan menjadi senandung Panitisastra: dulu tanah itu adalah hutan lebat yang bersinga. Singa bilang, kalau hutan tak kujaga tentu ia akan dibabat habis oleh manusia. Dan hutan bilang, kalau singa tak kunaungi dan pergi dariku, pasti ia akan ditangkap oleh manusia. Akhirnya singa dan hutan sama-sama binasa. Singa yang tak berhutan dibunuh manusia, hutan yang tak bersinga dibabat manusia…. "Raja dan rakyat harus wengku-winengku (saling memangku), rangkul-merangkul, seperti singa dan hutan, seperti Abimanyu dan Petruk", kata Ki petruk menyenandung tembang Panitisastra.

1 comment:

rare-angon said...

ijin copas nggih
suksma